Every day of your life is a page of your history..mutiara kata Arab
Thursday, December 25, 2008
BOUGAINVILLAEA
ketika melintas Jalan nanas Barat, Kuching, saya ternampak bunga kertas yang sedang memperagai warnanya.
ABDUL HAKIM
Abdul Hakim, cucu ke-6, lahir pada 5 Disember 2008. Nama Abdul Hakim diambil sempena nama moyangnya.
Wednesday, December 10, 2008
ULASAN BUKU -BINGKAI WAKTU (2)
Di dalam akhbar Utusan Sarawak hari ini, ruangan Wadah Bahasa dan Sastera,disiarkan ulasan buku: kumpulan Puisi BINGKAI WAKTU. Saya perturunkan di bawah ini rencana tersebut bagi membolehkan teman-teman yang tak dapat membaca akhbar tempatan Utusan Sarawak: Ulasan Buku Judul: Kumpulan Puisi Bingkai Waktu Penulis: Pharo Abdul Hakim Tahun Terbit: 2008 Tebal: 159 halaman Harga: RM15 Pengulas: Azwa RH
PERJALANAN hidup seseorang itu seperti naskhah yang dikisahkan. Pelbagai cerita yang terjadi sejalur takdirnya.
Apabila membaca Kumpulan Puisi Bingkai Waktu oleh Pharo Abdul Hakim sepertinya diri disoroti catatan rasa yang gawat tentang hakikat sebuah kehidupan yang sarat falsafahnya.
Buku Kumpulan Puisi Bingkai Waktu ini menampilkan 101 buah puisi yang meneriakkan suara kemanusiaan dan rasa kehambaan kepada-Nya, dari dalam diri penyairnya.
Segala tamsilan peribadi yang kemanusiaan sifatnya, jelas terjalin lewat untaian kata yang diungkapkan oleh penyairnya. Penyair turut memberi sentuhan yang pelbagai urna budaya lokal dalam mengolah puisi-puisinya. Misalnya: ... ketika senja berlari dikejar malam ada nyanyian putera Annah Rayang lagu asing irama perjuangan menabur benih suci biar lembah ini diterangi sinar biar pinggir ini ditumbuhi pohonan menghijaukan bumi bertuah ... (rangkap ke -2, Annah Rayang)
Antara judul puisi lain yang juga menyentuh soal kehidupan dan sosiobudaya setempat ialah Aku Masih Risau, Tatau, Bila Puteri Bintulu Menghulur Salam Perpaduan, Bunan Gega, Cagar Alam Gua Angin, Cerita Senja Di Long Lama, Galeri Insani, Gurindam Buat Mulu, Kembali Ke Talang-Talang, Luak: Tafsiran Hisyam, Maludam Dalam Diam, Margherita, Merobek Sepi Kenyalang, Monolog Bario, mY, Puteri Kapit, Pedaun Bawah, Sehening Samunsam, Sepi Serapi dan Teja Simunjan.
Jerit dura kesejagatan turut mengusik intuisi penyair lalu terolah beberapa buah puisinya yang kritis tentang pergolakan di beberapa belahan dunia ini. Misalnya dalam puisi berikut,
...
Kashmir berkirim salam
kepada saudara di seberang
ada pesan yang tak kesampaian
ada tangisan tak kedengaran
keseorangan di lembah dingin
terpenjara di istana silam
terkulai dan terbiar
mencari tempat bersemadi
setelah hanyut dibawa arus mimpi.
(rangkap ke-4, Kasmir Berkirim Salam)
Inderia sensitiviti penyair nyata tidak sekadar sebuah emosi tapi seturut sayup renung dan gerak fikir yang kritis, pun juga sesekali sinis.
Malah nilai estetikanya terjalin halus lewat pemilihan diksi dan penggunaan metafora yang puitis.
Sekali gus membekaskan nilai rasa yang segar dalam larikan minda yang tegar. Misalnya dalam puisi berikut,
...
Biru lazuardi itu adalah aku
langit yang luas
lautan tak berbatas
saling berubah warna dan aura
menyelinap antara gelap dan terang
antara mentari dan bulan
antara awan dan mendung
seperti ardi yang berdiri
sepi dan sendiri
kukuh menjadi tunjang bumi
biru lazuardi penyuluh mimpi
dengan pantulan cahaya yang sukar dimengerti.
(rangkap ke-5, Biru Lazuardi)
Puisi lain yang turut bersifat kiasan seperti Api, Air Dari Gunung(1), Air Dari Gunung(2), Balalaika, Baluarti, Bulan Kedua, Cinta di Kota Magenta, Duka Purnama, Galeri Insani, Jambatan Waktu, Kota Taman, Kujelajahi Sebuah Malam, Kujelajahi Terowong Kecewa, Lorong Hitam di Sudut Kota, Membina Kota Setia, Mendepani Resah, Mentari Jingga, Meredah Lembah Gundah, Meroboh Penjara Budi, Orang Sungai, Pelabuhan Sembilan, Pengembara Masa, Resah, Samudera Bara, Sanktuari, Sebuah Kota Merah Jingga, Sebuah Pondok Di Lereng Gunung, Semilir, Seperti Pohon Ketapang Di Tepi Jalan Itu, Tanjung Tulus dan Wajah Di Bingkai Waktu.
Penyair juga begitu mudah digugah oleh getar kehidupan yang melingkunginya terutama tentang hakikat yang tersirat dalam sosiologi dan sosiopolitik.
Kegusara penyair mengenai karisma politik kepimpinan setempat tampak jelas dalam beberapa buah puisinya seperti Balada Pak Tua, Balada Supir Tua, Cerita Sebuah Desa, Cerita Sebuah Kota, Empayar Fatamorgana, Kongkalingkung, Marsum Buat Nayaka, Memoir Nayaka dan Mendepani Resah, misalnya dalam bait puisi berikut;
...
lalu tercatatlah madah derhaka ini
lahir dari hati yang tidak pernah lupa
pada janji yang dijaja
ketika nayaka menghulur dusta
"kubina syurga di hujung kota
buat berteduh bangsaku yang berduka"
(rangkap ke-4, Marsum Buat Nayaka)
Penyair nyata tidak terkecuali dalam melakar potret cinta seorang pria.
Justeru beliau telah memerikannya lewat puisi Cinta Amar, Lagu Cinta Seorang Lelaki Yang Enggan Menjadi Tua dan Puisi Cinta Penyair Tua.
Sebagai menghargai dan mengertikan rasa keukhwahan dan persahabatan yang tulus, penyair tidak mengacuhkannya begitu saja.
Ia turut diolah dalam bait-bait puisinya seperti Erti Teman, Menara Harapan (i), Menara Harapan (ii) dan Mutiara. Misalnya dalam puisi berikut;
...
begitulah masa menentukan segala
tiada ruang untuk kembali ke alam remaja
walaupun jauh di lubuk hati
tersimpan kerinduan seorang teman
menjenguk kembali jejak-jejak silam
tersimpan seribu cerita
...
(rangkap ke-5, Menara Harapan(ii) )
Gaya bahasa penyair dalam naskhah Bingkai Waktu ini mudah difahami dan menarik ditelusuri penggunaan metaforanya.
Malah pemilihan diksinya cukup segar dan sesuai dengan jalur-jalur pemikiran yang ingin dialirkan oleh penyairnya.
Walaupun terdapat beberapa frasa judul puisinya yang agak jarang diperikan tapi ia berupaya memperkayakan kosa kata khalayaknya.
Misalnya perkataan Balalaika, baluarti, sanktuari, kongkalingkung, luak, marsum, nayaka dan teja.
Malah semuanya itu telah memberi nilai keindahan yang lain dalam memerikan susuk-susuk bahasa puisi itu sendiri.
Sesungguhnya apabila membaca puisi-puisi yang terolah dalam Bingkai Waktu ini, sepertinya khalayak itu mengalir bersama-sama lagu cinta seorang lelaki yang terlepas masa lalunya yang sangat bermakna itu.
Nada roman penyairnya benar-benar terasa lewat ungkapan-ungkapan yang tersirat tersebut.
Rumusnya, naskhah Bingkai Waktu itu persis sebuah kembara rasa seseorang yang begitu nostalgik dunianya.
TERIMA KASIH AZWA RH ATAS ULASAN SAUDARA.
PERJALANAN hidup seseorang itu seperti naskhah yang dikisahkan. Pelbagai cerita yang terjadi sejalur takdirnya.
Apabila membaca Kumpulan Puisi Bingkai Waktu oleh Pharo Abdul Hakim sepertinya diri disoroti catatan rasa yang gawat tentang hakikat sebuah kehidupan yang sarat falsafahnya.
Buku Kumpulan Puisi Bingkai Waktu ini menampilkan 101 buah puisi yang meneriakkan suara kemanusiaan dan rasa kehambaan kepada-Nya, dari dalam diri penyairnya.
Segala tamsilan peribadi yang kemanusiaan sifatnya, jelas terjalin lewat untaian kata yang diungkapkan oleh penyairnya. Penyair turut memberi sentuhan yang pelbagai urna budaya lokal dalam mengolah puisi-puisinya. Misalnya: ... ketika senja berlari dikejar malam ada nyanyian putera Annah Rayang lagu asing irama perjuangan menabur benih suci biar lembah ini diterangi sinar biar pinggir ini ditumbuhi pohonan menghijaukan bumi bertuah ... (rangkap ke -2, Annah Rayang)
Antara judul puisi lain yang juga menyentuh soal kehidupan dan sosiobudaya setempat ialah Aku Masih Risau, Tatau, Bila Puteri Bintulu Menghulur Salam Perpaduan, Bunan Gega, Cagar Alam Gua Angin, Cerita Senja Di Long Lama, Galeri Insani, Gurindam Buat Mulu, Kembali Ke Talang-Talang, Luak: Tafsiran Hisyam, Maludam Dalam Diam, Margherita, Merobek Sepi Kenyalang, Monolog Bario, mY, Puteri Kapit, Pedaun Bawah, Sehening Samunsam, Sepi Serapi dan Teja Simunjan.
Jerit dura kesejagatan turut mengusik intuisi penyair lalu terolah beberapa buah puisinya yang kritis tentang pergolakan di beberapa belahan dunia ini. Misalnya dalam puisi berikut,
...
Kashmir berkirim salam
kepada saudara di seberang
ada pesan yang tak kesampaian
ada tangisan tak kedengaran
keseorangan di lembah dingin
terpenjara di istana silam
terkulai dan terbiar
mencari tempat bersemadi
setelah hanyut dibawa arus mimpi.
(rangkap ke-4, Kasmir Berkirim Salam)
Inderia sensitiviti penyair nyata tidak sekadar sebuah emosi tapi seturut sayup renung dan gerak fikir yang kritis, pun juga sesekali sinis.
Malah nilai estetikanya terjalin halus lewat pemilihan diksi dan penggunaan metafora yang puitis.
Sekali gus membekaskan nilai rasa yang segar dalam larikan minda yang tegar. Misalnya dalam puisi berikut,
...
Biru lazuardi itu adalah aku
langit yang luas
lautan tak berbatas
saling berubah warna dan aura
menyelinap antara gelap dan terang
antara mentari dan bulan
antara awan dan mendung
seperti ardi yang berdiri
sepi dan sendiri
kukuh menjadi tunjang bumi
biru lazuardi penyuluh mimpi
dengan pantulan cahaya yang sukar dimengerti.
(rangkap ke-5, Biru Lazuardi)
Puisi lain yang turut bersifat kiasan seperti Api, Air Dari Gunung(1), Air Dari Gunung(2), Balalaika, Baluarti, Bulan Kedua, Cinta di Kota Magenta, Duka Purnama, Galeri Insani, Jambatan Waktu, Kota Taman, Kujelajahi Sebuah Malam, Kujelajahi Terowong Kecewa, Lorong Hitam di Sudut Kota, Membina Kota Setia, Mendepani Resah, Mentari Jingga, Meredah Lembah Gundah, Meroboh Penjara Budi, Orang Sungai, Pelabuhan Sembilan, Pengembara Masa, Resah, Samudera Bara, Sanktuari, Sebuah Kota Merah Jingga, Sebuah Pondok Di Lereng Gunung, Semilir, Seperti Pohon Ketapang Di Tepi Jalan Itu, Tanjung Tulus dan Wajah Di Bingkai Waktu.
Penyair juga begitu mudah digugah oleh getar kehidupan yang melingkunginya terutama tentang hakikat yang tersirat dalam sosiologi dan sosiopolitik.
Kegusara penyair mengenai karisma politik kepimpinan setempat tampak jelas dalam beberapa buah puisinya seperti Balada Pak Tua, Balada Supir Tua, Cerita Sebuah Desa, Cerita Sebuah Kota, Empayar Fatamorgana, Kongkalingkung, Marsum Buat Nayaka, Memoir Nayaka dan Mendepani Resah, misalnya dalam bait puisi berikut;
...
lalu tercatatlah madah derhaka ini
lahir dari hati yang tidak pernah lupa
pada janji yang dijaja
ketika nayaka menghulur dusta
"kubina syurga di hujung kota
buat berteduh bangsaku yang berduka"
(rangkap ke-4, Marsum Buat Nayaka)
Penyair nyata tidak terkecuali dalam melakar potret cinta seorang pria.
Justeru beliau telah memerikannya lewat puisi Cinta Amar, Lagu Cinta Seorang Lelaki Yang Enggan Menjadi Tua dan Puisi Cinta Penyair Tua.
Sebagai menghargai dan mengertikan rasa keukhwahan dan persahabatan yang tulus, penyair tidak mengacuhkannya begitu saja.
Ia turut diolah dalam bait-bait puisinya seperti Erti Teman, Menara Harapan (i), Menara Harapan (ii) dan Mutiara. Misalnya dalam puisi berikut;
...
begitulah masa menentukan segala
tiada ruang untuk kembali ke alam remaja
walaupun jauh di lubuk hati
tersimpan kerinduan seorang teman
menjenguk kembali jejak-jejak silam
tersimpan seribu cerita
...
(rangkap ke-5, Menara Harapan(ii) )
Gaya bahasa penyair dalam naskhah Bingkai Waktu ini mudah difahami dan menarik ditelusuri penggunaan metaforanya.
Malah pemilihan diksinya cukup segar dan sesuai dengan jalur-jalur pemikiran yang ingin dialirkan oleh penyairnya.
Walaupun terdapat beberapa frasa judul puisinya yang agak jarang diperikan tapi ia berupaya memperkayakan kosa kata khalayaknya.
Misalnya perkataan Balalaika, baluarti, sanktuari, kongkalingkung, luak, marsum, nayaka dan teja.
Malah semuanya itu telah memberi nilai keindahan yang lain dalam memerikan susuk-susuk bahasa puisi itu sendiri.
Sesungguhnya apabila membaca puisi-puisi yang terolah dalam Bingkai Waktu ini, sepertinya khalayak itu mengalir bersama-sama lagu cinta seorang lelaki yang terlepas masa lalunya yang sangat bermakna itu.
Nada roman penyairnya benar-benar terasa lewat ungkapan-ungkapan yang tersirat tersebut.
Rumusnya, naskhah Bingkai Waktu itu persis sebuah kembara rasa seseorang yang begitu nostalgik dunianya.
TERIMA KASIH AZWA RH ATAS ULASAN SAUDARA.
Thursday, December 04, 2008
ZAKARIYYA DAN ERDA
ULASAN BUKU - BINGKAI WAKTU(1)
Ulasan buku yang disiarkan di dalam Majalah Dewan Sastera bulan Disember 2008 ini (muka surat 9)
Huraian Persoalan Secara Kritis dan Analitis
Judul: Bingkai Waktu
Penulis: Pharo Abdul Hakim
Penerbit: Dewan Bahasa dan Pustaka
Harga: RM15.00
Pengulas: Hassan Alias
Penyair mencatatkan banyak perkara sepanjang perjalanannya menelusuri waktu yang tiada kesudahannya. Catatan itu terhasil daripada kembara, pemerhatian dan penghayatan. Hati penyair mudah terdetik apabila menyaksikan kepelbagaian degap-degup kehidupan yang berlangsung di hadapan mata.
Bingkai Waktu mungkin rakaman pengalaman penyair yang boleh direnung oleh khalayak sebagai pedoman melayari kehidupan yang pelbagai rencah dan resam ini. Dalam "bingkai waktu"nya penyair mempamerkan teriak dan gelisah manusia dan alam yang terabai. Di sana sini kedapatan insan yang terpaksa melalui kehidupan ini umpama meniti bara.
Sesuai dengan latar penyair yang berasal dari Sarawak, wajarlah beliau lebih banyak menitipkan suara-suara dari daerah kelahirannya. Penyair turut merakamkan suara alam dan penghuninya yang tertindas, terabai dan disalagunakan. Umpamanya puisi "Monolog Bario" yang merakamkan kesempitan rakyat yang tinggal jauh di pedalaman. Mungkin masyarakat Brio pernah dijanjikan sesuatu oleh pemerintah, tetapi hanya pada kata-kata. Ungkapan penyair dalam rangkap terakhir sangat menyentuh jiwa:
...
sepi menjalar di Ulunbg Palang
ketika janji tinggal di tepi
malam-malam yang berlalu ditemani pilu
cahaya yang tiba dengan bergaya
namun sinar sedetik cuma.
Penyair merakamkan keperitan segelintir manusia mengharungi kehiidupan dengan seribu kepayahan. Antaranya siri puisi "Perempuan Tua" yang mungkin sahaja kedapatan di mana-mana -di kota, di desa, di negara bergolak dan sebagainya. Puisi "Perempuan Tua dan Kota" menggambarkan seorang wanita yang terpaksa hidup bergelut di tanah air sendiri walaupun dia leluhur bangsa yang mempertahankan pertiwi daripada petualang. Malangnya, dia hanya mencari rezeki dengan mengutip sampah:
...
Perempuan tua itu
adalah teman setia
pusat pelupusan sampah kota
membina kehidupan masa depan
di dalam kota cinta
dengan kesungguhan dan ketekunan
Pharo seorang pemerhati sosial dan politik yang teliti. Banyak keserabutan sosial yang disaksikannya terakam dalam kumpulan puisi ini. Beliau menggambarkan kehidupan desa yang serba serbi kurang dan kehidupan kota raya yang serba sofistikated, tetapi kekurangan kemanusiaan. Penyair juga mencatatkan tingkah laku ahli politik yang pandai berjanji hanya untuk menagih sokongan, tetapi menghilang setelah impian menggapai kuasa tercapai.
Bingkai Waktu yang menghimpunkan lebih 100 buah puisi bukan setakat rakaman biasa kehidupan, malah penyair menghuraikan persoalan dengan mata pena yang kritis dan analitis. hati akan terkocak menghayati kumpulan puisi yang indah ini.
Huraian Persoalan Secara Kritis dan Analitis
Judul: Bingkai Waktu
Penulis: Pharo Abdul Hakim
Penerbit: Dewan Bahasa dan Pustaka
Harga: RM15.00
Pengulas: Hassan Alias
Penyair mencatatkan banyak perkara sepanjang perjalanannya menelusuri waktu yang tiada kesudahannya. Catatan itu terhasil daripada kembara, pemerhatian dan penghayatan. Hati penyair mudah terdetik apabila menyaksikan kepelbagaian degap-degup kehidupan yang berlangsung di hadapan mata.
Bingkai Waktu mungkin rakaman pengalaman penyair yang boleh direnung oleh khalayak sebagai pedoman melayari kehidupan yang pelbagai rencah dan resam ini. Dalam "bingkai waktu"nya penyair mempamerkan teriak dan gelisah manusia dan alam yang terabai. Di sana sini kedapatan insan yang terpaksa melalui kehidupan ini umpama meniti bara.
Sesuai dengan latar penyair yang berasal dari Sarawak, wajarlah beliau lebih banyak menitipkan suara-suara dari daerah kelahirannya. Penyair turut merakamkan suara alam dan penghuninya yang tertindas, terabai dan disalagunakan. Umpamanya puisi "Monolog Bario" yang merakamkan kesempitan rakyat yang tinggal jauh di pedalaman. Mungkin masyarakat Brio pernah dijanjikan sesuatu oleh pemerintah, tetapi hanya pada kata-kata. Ungkapan penyair dalam rangkap terakhir sangat menyentuh jiwa:
...
sepi menjalar di Ulunbg Palang
ketika janji tinggal di tepi
malam-malam yang berlalu ditemani pilu
cahaya yang tiba dengan bergaya
namun sinar sedetik cuma.
Penyair merakamkan keperitan segelintir manusia mengharungi kehiidupan dengan seribu kepayahan. Antaranya siri puisi "Perempuan Tua" yang mungkin sahaja kedapatan di mana-mana -di kota, di desa, di negara bergolak dan sebagainya. Puisi "Perempuan Tua dan Kota" menggambarkan seorang wanita yang terpaksa hidup bergelut di tanah air sendiri walaupun dia leluhur bangsa yang mempertahankan pertiwi daripada petualang. Malangnya, dia hanya mencari rezeki dengan mengutip sampah:
...
Perempuan tua itu
adalah teman setia
pusat pelupusan sampah kota
membina kehidupan masa depan
di dalam kota cinta
dengan kesungguhan dan ketekunan
Pharo seorang pemerhati sosial dan politik yang teliti. Banyak keserabutan sosial yang disaksikannya terakam dalam kumpulan puisi ini. Beliau menggambarkan kehidupan desa yang serba serbi kurang dan kehidupan kota raya yang serba sofistikated, tetapi kekurangan kemanusiaan. Penyair juga mencatatkan tingkah laku ahli politik yang pandai berjanji hanya untuk menagih sokongan, tetapi menghilang setelah impian menggapai kuasa tercapai.
Bingkai Waktu yang menghimpunkan lebih 100 buah puisi bukan setakat rakaman biasa kehidupan, malah penyair menghuraikan persoalan dengan mata pena yang kritis dan analitis. hati akan terkocak menghayati kumpulan puisi yang indah ini.
Tuesday, December 02, 2008
MAJLIS PERKAHWINAN ZAKARIYYA DAN ERDA ASFAR
Sayang ibu pada menantunya
Doa dan harapan seorang ayah
Brass band yang dimport khas dari sambas, kalimantan, Indonesia mengiringi pengantin yang diarak menuju ke rumah pengantin perempuan
Miri sesudah subuh pada 30 November 2008
CT dan kakaknya, Laila
Dalam perjalanan menuju rumah pengantin perempuan di kampung Tudan Miri
29 November 2008 tarikh keramat dan bahagia buat Mouhammad Zakariyya dan Erda Asfar. Mereka diijabkabulkan pada tarikh tersebut, di Miri, rumah penagntin perempuan. Tarikh yang sama dengan tarikh pernikahanku dengan isteri 33 tahun yang lalu. Zakariyya sengaja mengambil tarikh yang sama untuk menjadi ingatan masa muka.
Zakariyya anak yang keempat melangsungkan pernikahan bersama kekasih sejak kecil lagi ketika kami masih tinggal di Miri sekitar 1991 - 1999,Erda Asfar, seorang guru dan kini mengajar di SMK St. Augustine , Betong. Entah mengapa setelah bersalaman dengan anakku dan menantu selepas pernikahan, aku terasa sedikit pilu. Tak terasa pula air mata jatuh ke pipi. Sudah dewasa rupanya anakku ini dan kini telah menjadi suami orang.
Ayah hanya dapat mendoakan kebahagian anakanda berdua. Semoga kekal hingga ke akhir hayat.
29 November 2008 tarikh keramat dan bahagia buat Mouhammad Zakariyya dan Erda Asfar. Mereka diijabkabulkan pada tarikh tersebut, di Miri, rumah penagntin perempuan. Tarikh yang sama dengan tarikh pernikahanku dengan isteri 33 tahun yang lalu. Zakariyya sengaja mengambil tarikh yang sama untuk menjadi ingatan masa muka.
Zakariyya anak yang keempat melangsungkan pernikahan bersama kekasih sejak kecil lagi ketika kami masih tinggal di Miri sekitar 1991 - 1999,Erda Asfar, seorang guru dan kini mengajar di SMK St. Augustine , Betong. Entah mengapa setelah bersalaman dengan anakku dan menantu selepas pernikahan, aku terasa sedikit pilu. Tak terasa pula air mata jatuh ke pipi. Sudah dewasa rupanya anakku ini dan kini telah menjadi suami orang.
Ayah hanya dapat mendoakan kebahagian anakanda berdua. Semoga kekal hingga ke akhir hayat.
Subscribe to:
Posts (Atom)