Wednesday, December 10, 2008

ULASAN BUKU -BINGKAI WAKTU (2)

Di dalam akhbar Utusan Sarawak hari ini, ruangan Wadah Bahasa dan Sastera,disiarkan ulasan buku: kumpulan Puisi BINGKAI WAKTU. Saya perturunkan di bawah ini rencana tersebut bagi membolehkan teman-teman yang tak dapat membaca akhbar tempatan Utusan Sarawak: Ulasan Buku Judul: Kumpulan Puisi Bingkai Waktu Penulis: Pharo Abdul Hakim Tahun Terbit: 2008 Tebal: 159 halaman Harga: RM15 Pengulas: Azwa RH

PERJALANAN hidup seseorang itu seperti naskhah yang dikisahkan. Pelbagai cerita yang terjadi sejalur takdirnya.
Apabila membaca Kumpulan Puisi Bingkai Waktu oleh Pharo Abdul Hakim sepertinya diri disoroti catatan rasa yang gawat tentang hakikat sebuah kehidupan yang sarat falsafahnya.
Buku Kumpulan Puisi Bingkai Waktu ini menampilkan 101 buah puisi yang meneriakkan suara kemanusiaan dan rasa kehambaan kepada-Nya, dari dalam diri penyairnya.
Segala tamsilan peribadi yang kemanusiaan sifatnya, jelas terjalin lewat untaian kata yang diungkapkan oleh penyairnya. Penyair turut memberi sentuhan yang pelbagai urna budaya lokal dalam mengolah puisi-puisinya. Misalnya: ... ketika senja berlari dikejar malam ada nyanyian putera Annah Rayang lagu asing irama perjuangan menabur benih suci biar lembah ini diterangi sinar biar pinggir ini ditumbuhi pohonan menghijaukan bumi bertuah ... (rangkap ke -2, Annah Rayang)
Antara judul puisi lain yang juga menyentuh soal kehidupan dan sosiobudaya setempat ialah Aku Masih Risau, Tatau, Bila Puteri Bintulu Menghulur Salam Perpaduan, Bunan Gega, Cagar Alam Gua Angin, Cerita Senja Di Long Lama, Galeri Insani, Gurindam Buat Mulu, Kembali Ke Talang-Talang, Luak: Tafsiran Hisyam, Maludam Dalam Diam, Margherita, Merobek Sepi Kenyalang, Monolog Bario, mY, Puteri Kapit, Pedaun Bawah, Sehening Samunsam, Sepi Serapi dan Teja Simunjan.
Jerit dura kesejagatan turut mengusik intuisi penyair lalu terolah beberapa buah puisinya yang kritis tentang pergolakan di beberapa belahan dunia ini. Misalnya dalam puisi berikut,
...
Kashmir berkirim salam
kepada saudara di seberang
ada pesan yang tak kesampaian
ada tangisan tak kedengaran
keseorangan di lembah dingin
terpenjara di istana silam
terkulai dan terbiar
mencari tempat bersemadi
setelah hanyut dibawa arus mimpi.
(rangkap ke-4, Kasmir Berkirim Salam)

Inderia sensitiviti penyair nyata tidak sekadar sebuah emosi tapi seturut sayup renung dan gerak fikir yang kritis, pun juga sesekali sinis.
Malah nilai estetikanya terjalin halus lewat pemilihan diksi dan penggunaan metafora yang puitis.
Sekali gus membekaskan nilai rasa yang segar dalam larikan minda yang tegar. Misalnya dalam puisi berikut,
...
Biru lazuardi itu adalah aku
langit yang luas
lautan tak berbatas
saling berubah warna dan aura
menyelinap antara gelap dan terang
antara mentari dan bulan
antara awan dan mendung
seperti ardi yang berdiri
sepi dan sendiri
kukuh menjadi tunjang bumi
biru lazuardi penyuluh mimpi
dengan pantulan cahaya yang sukar dimengerti.
(rangkap ke-5, Biru Lazuardi)
Puisi lain yang turut bersifat kiasan seperti Api, Air Dari Gunung(1), Air Dari Gunung(2), Balalaika, Baluarti, Bulan Kedua, Cinta di Kota Magenta, Duka Purnama, Galeri Insani, Jambatan Waktu, Kota Taman, Kujelajahi Sebuah Malam, Kujelajahi Terowong Kecewa, Lorong Hitam di Sudut Kota, Membina Kota Setia, Mendepani Resah, Mentari Jingga, Meredah Lembah Gundah, Meroboh Penjara Budi, Orang Sungai, Pelabuhan Sembilan, Pengembara Masa, Resah, Samudera Bara, Sanktuari, Sebuah Kota Merah Jingga, Sebuah Pondok Di Lereng Gunung, Semilir, Seperti Pohon Ketapang Di Tepi Jalan Itu, Tanjung Tulus dan Wajah Di Bingkai Waktu.
Penyair juga begitu mudah digugah oleh getar kehidupan yang melingkunginya terutama tentang hakikat yang tersirat dalam sosiologi dan sosiopolitik.
Kegusara penyair mengenai karisma politik kepimpinan setempat tampak jelas dalam beberapa buah puisinya seperti Balada Pak Tua, Balada Supir Tua, Cerita Sebuah Desa, Cerita Sebuah Kota, Empayar Fatamorgana, Kongkalingkung, Marsum Buat Nayaka, Memoir Nayaka dan Mendepani Resah, misalnya dalam bait puisi berikut;
...
lalu tercatatlah madah derhaka ini
lahir dari hati yang tidak pernah lupa
pada janji yang dijaja
ketika nayaka menghulur dusta
"kubina syurga di hujung kota
buat berteduh bangsaku yang berduka"
(rangkap ke-4, Marsum Buat Nayaka)
Penyair nyata tidak terkecuali dalam melakar potret cinta seorang pria.
Justeru beliau telah memerikannya lewat puisi Cinta Amar, Lagu Cinta Seorang Lelaki Yang Enggan Menjadi Tua dan Puisi Cinta Penyair Tua.
Sebagai menghargai dan mengertikan rasa keukhwahan dan persahabatan yang tulus, penyair tidak mengacuhkannya begitu saja.
Ia turut diolah dalam b
ait-bait puisinya seperti Erti Teman, Menara Harapan (i), Menara Harapan (ii) dan Mutiara. Misalnya dalam puisi berikut;
...

begitulah masa menentukan segala
tiada ruang untuk kembali ke alam remaja
walaupun jauh di lubuk hati
tersimpan kerinduan seorang teman
menjenguk kembali jejak-jejak silam
tersimpan seribu cerita
...
(rangkap ke-5, Menara Harapan(ii) )
Gaya bahasa penyair dalam naskhah Bingkai Waktu ini mudah difahami dan menarik ditelusuri penggunaan metaforanya.
Malah pemilihan diksinya cukup segar dan sesuai dengan jalur-jalur pemikiran yang ingin dialirkan oleh penyairnya.
Walaupun terdapat beberapa frasa judul puisinya yang agak jarang diperikan tapi ia berupaya memperkayakan kosa kata khalayaknya.
Misalnya perkataan Balalaika, baluarti, sanktuari, kongkalingkung, luak, marsum, nayaka dan teja.
Malah semuanya itu telah memberi nilai keindahan yang lain dalam memerikan susuk-susuk bahasa puisi itu sendiri.
Sesungguhnya apabila membaca puisi-puisi yang terolah dalam Bingkai Waktu ini, sepertinya khalayak itu mengalir bersama-sama lagu cinta seorang lelaki yang terlepas masa lalunya yang sangat bermakna itu.
Nada roman penyairnya benar-benar terasa lewat ungkapan-ungkapan yang tersirat tersebut.
Rumusnya, naskhah Bingkai Waktu itu persis sebuah kembara rasa seseorang yang begitu nostalgik dunianya.


TERIMA KASIH AZWA RH ATAS ULASAN SAUDARA.



2 comments:

Donata said...

interesting photo
greetings from Poland

Penabahari said...

Thank you Donata.
It'sm a photo of Niah Cave situated at the Northern part of Sarawak.